Senin, 15 Agustus 2011

teknologi KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengemasan atau pewadahan diperkirakan telah ada sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Bahan kemasan yang berasal dari alam seperti dedaunan, kulit binatang dan tanah liat telah banyak digunakan sebagai wadah penyimpanan atau pengemasan.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, teknologi pengemasan juga berkembang dengan pesat. Meskipun kemasan alami masih digunakan,, akhir-akhir ini kemasan yang lebih maju (modern) telah banyak digunakan secara meluas. Sehari-hari, dijumpai berbagai produk terutama produk pangan menggunakan kemasan yang beragam baik bahan, bentuk, warna maupun fungsi dasarnya. Kemasan aseptik, modifikasi atmosfir dan “tetra pak” adalah jenis kemasan modern yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan kemasan plastik. Selain plastik, bahan kemasan yang banyak digunakan untuk produk pangan dan hasil pertanian lainnya diantaranya kertas, aluminium foil, gelas, logam dan kayu.
Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Plastik tidak hanya dipakai untuk kemasan pangan (food grade), tetapi juga banyak diaplikasikan sebagai bahan pelindung dan pewadahan produk elekronika, komponen/suku cadang dan zat kimia untuk industri. Bahan kemasan ini memiliki berbagai keunggulan yakni, fleksibel (dapat mengikuti bentuk produk), transparan (tembus pandang), tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harganya relatif murah. Disamping memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahan kemasan lainnya, plastik juga mempunyai kelemahan yakni, tidak tahan panas, dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer), sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (non-biodegradable).
Saat ini, bahan kemasan plastik telah menimbulkan permasalahan cukup serius. Polimer plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Berbagai laporan menunjukkan, produk berbahan dasar plastik menjadi penyebab kerusakan lingkungan di pantai New Jersey, laut Sargasso dan pulau Scottish (Griffin, 1994). Selain itu, plastik dalam proses pembuatannya menggunakan minyak bumi, yang ketersediannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbaharui (non-renewable). Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara meluas, oleh karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan diwaktu mendatang.
Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan lingkungan lestari, mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan yang “biodegradable”. Saat ini penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan biodegradable terarah pada usaha membuat pengemas yang mempunyai sifat seperti plastik yang berbasiskan bahan alami dan mudah terurai.

B. Tujuan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji menurut tinjauan filsafat sains tentang teknologi kemasan plastik biodegradale.

II. KEMASAN PLASTIK BIODEGRDABLE

A.Pengertian

Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Griffin (1994),, plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan Seal (1994), kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami.

Di beberapa negara maju, mulai diproduksi film kemasan yang dapat didegradasi melalui proses fotokimia atau dengan mikroorganisme penghancur. Melalui proses modifikasi gugus fungsional polimer PE dan PS, sehingga film kemasan yang terbentuk dapat terdegradasi oleh fotokimia atau kimiawi. Salah satu contohnya adalah pembutan film kemasan dari polihidroksi butirat (PHB) dan asam polilaktat hasil fermentasi.
B. Jenis Biopolimer
Ada tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu :
 Campuran biopolimer dengan polimer sintetis : film jenis ini dibuat dari campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas.
 Polimer mikrobiologi (polyester) : biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes . Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid) dan asam poliglikolat (polyglycolic acid). Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Namun oleh karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal.
 Polimer pertanian : biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya cellulose (bagian dari dinding sel tanaman), cellophan, celluloseacetat, chitin (pada kulit Crustaceae), pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans ). Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Keunggulan polimer jenis ini adalah tersedia sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable). Beberapa polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, konsentrat whey dan soy protein.


III. TEKNOLOGI PEMBUATAN KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE

A. Prinsip Pembentukan Film
Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke rubbery dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 – 160o C untuk tepung zein dengan kadar air di atas 25 %. Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C ikatan silang agregat zein menjadi lemah. Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapa dicetak menjadi film kemasan plastik.
Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982), sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein yang bertumpuk. Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul zein.


B. Metode Pembuatan Film
Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh Yamada, et. al. (1995), Frinault, et. al. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan.. Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.
 Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar (zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v). Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50o C selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan 10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin. Dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45o C dengan RH ruangan terkendali. Film yang terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam.
 Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar (casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser, pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.
 Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine. Selanjutnya dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH ruangan 50 %. Film kemudian dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o C pada RH 50 %. Dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.


C. karakteristik Kemasan Plastik

Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya. Adapun pengertian masing-masing karakteristik tersebut adalah :

1.Karakteristik mekanik :

Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlansung. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film.. Sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film. Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film.. Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film yang dihasilkan.

2. Permeabilitas :

Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu.. Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer,, struktur dasar polimer, sifat komponen permeant. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan berguna untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas. Komponen kimia alamiah berperan penting dalam permeabilitas. Polimer dengan polaritas tinggi (polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah. Hal ini disebabkan polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer kimia yang bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas. Permeabilitas uap air merupakan suatu ukuan kerentanan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air. Permeabilitas uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Sedangkan permeabilitas film kemasan terhadap gas-gas, penting diketahui terutama gas oksigen karena berhubungan dengan sifat bahan dikemas yang masih melakukan respirasi.

3. Biodegradabilitas

Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah.. Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi). Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan (Griffin, 1994). Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium, Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994). Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob, kemudian dalam tanah dan air laut.


D. Metode Uji Biodegradabilitas

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam uji biodegradasi adalah : jenis sampel (blow film, pulverize), sifat (crystallinity), jenis mikroorganisme (jamur, bakteri), kondisi lingkungan ( inokulasi, kelembaban, temperatur, nutrisi, pertumbuhan mikroorganisme, penurunan berat sel) dan sifat hydrofobik. Adapun cara penentuan degradasi yaitu mengukur perubahan sifat mekanis,, jumlah gas CO2 yang dikeluarkan dan produk-produk yang dihasilkan.. Berbagai metode pengujian biodegradasi yang diadopsi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah digunakan secara khusus untuk menganalisis, mendeteksi dan mengukur konsumsi oksigen dan atau karbondioksida yang dikeluarkan dari metabolisme substrat. Ada lima uji saat ini yang dapat digunakan, yakni : modified AFNOR test (untuk dissolved organic carbon/DOC), modified Sturn test (produksi CO2), modified MITI test (konsumsi O2 dan penguraian substrat), Closed bottle test (konsumsi O2 ) dan modified OECD screening test (dissolved organic carbon/DOC) (Griffin, 1994). Metode lain yang dikembangkan untuk menguji daya tahan plastik terhadap degradasii mikroorganisme, yakni : Petri dish screen (digunakan di USA/ASTM, Jerman/DIN, Prancis/AFNOR, Swiss/SN dan Standar Internasional/ISO (846), Environmental chamber method (pada kelembaban tinggi - 90 %), Soil burial tests (berdasarkan kontak dengan tanah).




IV. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE KE DEPAN

Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk mendapatkan polimer biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung, pullulan). Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastic degradable yang mempunyai masa pakai (lifetimes) yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah. Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik dan penggunaan bahan pemlastis.

Penggunaan kemasan plastik biodegradable misalnya sebagai botol sampo, dari bahan PHBV (produksi Wella AG dan ICI) dengan harga Rp. 75.000/kg (tahun1995), bahan celluloseacetat untuk barang-barang cetakan, harga Rp. 25.000/kg, campuran chitosan dengan cellulosa (di Jepang) sebagai pelindung terhadap oksigen, harga Rp.15.000/kg dan pullulan (di Jepang) sebagai kemasan pangan beku (mentega, keju) dengan harga Rp.60.000 sampai Rp.70.000,-. Kemasan plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container.

Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan PE. Sebagai perbandingan untuk PHBV sekitar US$ 8 – 10/lb, sedangkan untuk film PE hanya US$ 0.30 – 0.45/lb. Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal. Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari methanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate (Griffin, 1994).

Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas. Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.

Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam.



V. KESIMPULAN

Teknologi kemasan plastik biodegradable adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan penggunaan kemasan plastik yang non-biodegradable, berkurangnya cadangan minyak bumi, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan lestari serta resiko kesehatan.

Negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Swiss, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris telah mengembangkan berbagai jenis kemasan biodegradable untuk kemasan produk farmasi, kosmetik dan pangan. Produk tersebut berkembang oleh dukungan tersedianya dana riset dan penguasaan teknologi proses yang baik. Namun demikian, pengembangan teknologi kemasan bioegradable masih menghadapi kendala harga yang mahal dan penggunaanya yang terbatas. Berbagai cara telah dilakukan yakni memperbaiki proses produksi, mencari bahan biopolimer lain dan perbaikan sifat-sifat fisik kemasan.

Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam (hasil pertanian), potensial menghasilkan berbagai bahan biopolimer, sehingga teknologi kemasan plastik biodegradable mempunyai prospek yang baik.

TEKNOLOGI PENGEMASAN

Pengemasan merupakan suatu cara atau perlakuan pengamanan terhadap makanan atau bahan pangan, agar makanan atau bahan pangan baik yang belum diolah maupun yang telah mengalami pengolahan, dapat sampai ke tangan konsumen dengan “selamat”, secara kuantitas maupun kualitas.

Interaksi bahan pangan atau makanan dengan lingkungan dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi bahan pangan tersebut, antara lain :
1. Interaksi massa :
– Kontaminasi mikrobia (jamur, bakteri, dll).
– Kontaminasi serangga.
– Penambahan air atau menguapnya air.
– Benturan / gesekan.
2. Interaksi cahaya :
– Oksidasi terhadap lemak, protein, vitamin, dll.
3. Interaksi panas :
– Terjadi gosong, perubahan warna.
– Rusaknya nutrisi, case hardening dll.
Fungsi Pengemasan
Mengatur interaksi antara bahan pangan dengan lingkungan sekitar, sehingga menguntungkan bagi bahan pangan, dan menguntungkan bagi manusia yang mengkonsumsi bahan pangan.
Tujuan Pengemasan
• Membuat umur simpan bahan pangan menjadi panjang.
• Menyelamatkan produksi bahan pangan yang berlimpah.
• Mencegah rusaknya nutrisi/gizi bahan pangan.
• Menjaga dan menjamin tingkat kesehatan bahan pangan.
• Memudahkan distribusi/ pengangkutan bahan pangan.
• Mendukung perkembangan makanan siap saji.
• Menambah estetika dan nilai jual bahan pangan.

Pengemasan bahan pangan harus memenuhi beberapa kondisi atau aspek untuk dapat mencapai tujuan pengemasan itu, yaitu :
• Bahan pengemasnya harus memenuhi persyaratan tertentu.
• Metode atau teknik Pengemasan bahan pangan harus tepat.
• Pola distribusi dan penyimpanan produk hasil pengemasan harus baik.

Persyaratan Bahan Pengemas :
• Memiliki permeabilitas (kemampuan melewatkan) udara yang sesuai dengan jenis bahan pangan yang akan dikemas.
• Harus bersifat tidak beracun dan inert (tidak bereaksi dengan bahan pangan).
• Harus kedap air.
• Tahan panas.
• Mudah dikerjakan secara masinal dan harganya relatif murah.

Jenis-jenis Bahan Pengemas

1. Untuk wadah utama (pengemas yang berhubungan langsung dengan bahan pangan) :
• Kaleng/logam
• Botol/gelas
• Plastik
• Kertas
• Kain
• Kulit, daun, gerabah, bambu, dll\
2. Untuk wadah luar (pelindung wadah utama selama distribusi, penjualan, atau penyimpanan) :
• Kayu
• Karton
Plastik
Penggunaan plastik dalam pengemasan sebenarnya sangat terbatas tergantung dari jenis makanannya. elemahan plastik adalah tidak tahan panas, tidak hermetis (plastik masih bisa ditembus udara melalui pori-pori plastik), dan mudah terjadi pengembunan uap air didalam kemasan ketika suhu turun. Jenis plastik yang digunakan dalam pengemasan antara lain : polietilen, cellophan, polivinilklorida (PVC), polivinil dienaklorida (PVDC), polipropilen, poliester, poliamida, dan polietilentereptalat (PET).
• Polietilen : adalah jenis plastik yang harganya paling murah dan memiliki beberapa varian antara lain : Low Density Polyetilene (LDPE), High Density Polyetilene (HDPE), dan Polietelentereptalat (PET). Polietilen memiliki sifat kuat bergantung variannya, transparan, dan dapat direkatkan dengan panas sehingga mudah dibuat kantong plastik.
• Cellophan : sebenarnya terbuat dari serat selulosa yang disulfatasi. Cellophan dapat dipergunakan untuk membungkus sayuran, daging, dan beberapa jenis roti. Cellophan yang dilapisi nitroselulosa mempunyai sifat yang tahan terhadap uap air, fleksibel, dan mudah direkatkan dengan pemanasan. Cellophan yang dilapisi PVDC tahan terhadap uap air dan kedap oksigen sehingga baik untuk mengemas makanan yang mengandung minyak atau lemak.
• Polivinilklorida (PVC) : jenis plastik yang kuat, namun memiliki kelemahan yaitu dapat berkerut (Shrinkable) dan sering digunakan untuk mengemas daging atau keju.
• Polivinildienaklorida (PVDC) : jenis plastik yang kuat, tahan terhadap uap air dan transmisi udara. Sering dugunakan dalam pengemasan keju dan buah-buahan yang dikeringkan.

ANALISA KADAR AIR

PENDAHULUAN
• Air merup salah satu unsur penting dalam bahan pangan
• Merup sarana penting bagi proses biokimiawi organisme hidup
• Salah satu pertimbangan penting dlm penent lokasi pabrik pengol bahan makanan ->sbr air
• Sarana : pencucian, pengupasan umbi/buah, penentuan kualitas bhn pangan (tenggelam or mengambang), bhn baku proses, medium pemanasan/pendinginan, pembentukan uap, sterilisasi, melarutkan, perlind kabakaran
AIR DALAM BAHAN PANGAN
• Air bebas : terdpt dlm ruang-ruang antar sel dan inter-granular dan pori-porinyang terdpt pd bahan
• Air yang terikat secara lemah, krn terserap (teradsorbsi) pd perm koloid makromolekul spt protein, pektin, pati, selulose. Air ini juga terdispersi diantara koloid tsb dan merup pelarut zat-zat yg ada dlm sel. Air ini msh memp sifat spt air bebas dan dpt dikristalkan pd proses pembekuan. Ikatan ant air dg koloid -> ik hidrogen
• Air dlm keadaan terikat kuat : membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik shg sulit dihilangkan/diuapkan, tdk membeku pd 0⁰F
AW ( WATER ACTIVITY )
• Setiap bahan bila diletakkan dlm udara terbuka KA nya akan mencapai keseimbangan dg kelembaban udara disekitarnya. KA bhn ini disbt KA seimbang.
• Setiap kelembapan relatif tertentu dpt menghasilkan KA seimbang tertentu pula
• Aw = ERH/100
o ERH ; kelembapan relatif seimbang
PENENTUAN KA ( KADAR AIR )
• Metode pengeringan
• Metode distilasi
• Metode khemis
• Metode fisis
• Metode khusus ( kromatografi, NMR = Nuclear Magnetik Resonance)
METODE THERMOGRAFIMETRI
• Prinsip : menguapkan air yg ada dlm bahan dg jln pemanasan, kmd menimbang bhn hingga berat konstan) -> semua air sudah diuapkan
• (-) bhn lain selain air ikut teruapkan (alkohol, as asetat, m atsiri)
• Selama pemanasan terj reaksi yg menghslkan air or zat mudah menguap (gula->karamelisasi, oks lemak dsb)
• Bhn yg mengand hidrat air sulit unt diuapkan airnya
PEMBAGIAN
• Penguapan biasa (P= 1atm, T >100 ⁰C)
• Penguapan vacum (P < 1atm, T < 100 ⁰C)
o Unt bhan yang kand gula tinggi
o Bhn yang memp senyawa mudah menguap
METODE DESTILASI (THERMOVOLUMETRI )
• Prinsip : menguapkan air dengan “pembawa’ cairan kimia :
- yg memp titik didih > ttk didih air
- tdk dpt campur dg air
- yg memp berat jenis < air
- - bhn kimia : toluen, xylen, benzen, tetrakhlorothilen, xylol
KELEBIHAN METODE DESTILASI
• Hsl analisa lebih baik unt bhn yg KA nya rendah
• Waktu yg diperlukan + 1 jam
• Dekomposisi gula dan lipid dpt dihindari
METODE KIMIAWI
• Terdpt bbrp cara : titrasi karl Fischer, kalsium karbid, asetil khlorida
• Prinsip : menitrasi sampel dengan larutan tertentu, dimana lart tsb dpt mengikat air yg ada dalam bahan/sampel
METODE FISIK
• Terdpt beberapa cara :
- Berdasarkan tetapan dielektrikum
- Berdsrkan konduktivitas listrik (daya hantar listrik) atau resistensi
- Berdasarkan resonansi nuklir magnetik (NMR)
METODE FISIK BERDASARKAN DAYA HANTAR LISTRIK
• Air merup penghantar listrik yg baik, Bhn dg KA yg besar akan mudah menghantarkan listrik or memp resistensi yg relatif kecil
• Alat yg digunakan -> resistensi meter or moisture tester

PARADIGMA TAJDID MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM MODERNIS-REFORMIS

M. Amin Abdullah
Pengantar
Ketika Muhammadiyah berdiri tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan (Haidar Nashir, 2006: 54).
Prestasi yang diukir selama satu abad (l912-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat Islam di Indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjoangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang amat berharga untuk kematangan sepak terjang organisasi. Banyak organisasi keagamaan di Mesir atau di Pakistan yang mengalami nasib yang pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami nasib seperti itu. Mungkin karena pilihan Muhammadiyah–-sebagai organisasi—yang menekuni bidang Pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan-godaan politik praktis. Meskipun perlu dicatat, bahwa setelah reformasi bergulir, maka peran tokoh Muhammadiyah di masyarakat pun ikut berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan baru yang dihadapinya.
Bagaimana menatap 100 tahun ke depan? Apakah Muhammadiyah akan mengulang sejarah kesuksesan 100 tahun silam? Jangan-jangan hadis Nabi yang sudah menjadi adagium dan sering disebut dan dikutip oleh para tokoh dan da’i-da’iyah Muhammadiyah bahwa “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujaddidun” (Setiap melintasi seratus tahun usia jaman, akan datang seorang pembaharu) akan juga harus berlaku bagi Muhammadiyah? Atau tidak berlaku? Jika diandaikan berlaku dalam Muhammadiyah lalu seperti apa coraknya? Bagaimana mengantisipasinya? Apa implikasinya dalam konteks pendidkan Kemuhammadiyahan dan Keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah? Jika diandaikan tidak ada, apakah jaman dan situasi dunia memang tidak berkembang dan berubah lewat hukum dinamika sejarahnya sendiri? Tulisan singkat ini mau berandai-andai—jika saja memang ada perubahan dinamika sejarah dunia—lalu bagaimana Strategi Dakwah dan Tajdid Muhammadiyah menghadapinya dalam menapaki usianya yang seratus tahun kedua? Namanya juga berandai-andai, maka bisa jadi bisa tidak. Kalau tidak ada perubahan, maka corak dan strategi gerakan mungkin akan tetap dilestarikan seperti ini adanya (al-Muhafadzah ‘ala al-qadim al-salih). Tapi jika perubahan itu benar-benar ada, baik cepat maupun lambat, maka strategi baru apa yang akan dan perlu disiapkan oleh Muhammadiyah (al-Akhdzu bi al-jadid al-aslah), sebagai organisasi yang hidup dan kaya pengalaman melewati dan melintasi kurun-kurun waktu sulit?
Adalah sangat berbeda tingkat kompleksitasnya membayangkan Muhammadiyah dengan hanya sedikit jumlah anggota dan simpatisannya dan membayangkan Muhammadiyah dengan banyak anggota dan simpatisannya. Juga demikian halnya, terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang dihadapi Muhammadiyah pada era pra dan paska Reformasi sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan politik di tanah air. Setidaknya, ada dua atau tiga isu penting yang dihadapi oleh umat Islam dalam era abad ke-21, bersamaan waktunya ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua usianya.
Pertama, globalisasi mendorong munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.
Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak.
Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.
Pertama, Globalisasi dan Masyarakat Minoritas Muslim di negara-negara Barat.
Apakah Masyarakat atau Peradaban Utama yang dimaksud dalam al-Qur’an, dan lebih-lebih dalam dokumen cita-cita Muhammadiyah, hanya bersifat lokal keindonesiaan atau juga meliputi global-kesemestaaan (rahmatan li al-‘alamin)? Jika hanya lokal-keindonesiaan, lalu bagaimana hubungan dialektika timbal-balik dan pengaruh resiprokalnya dengan Masyarakat Utama yang ada dan juga dicita-citakan oleh masyarakat Muslim lokal yang lain? Juga bagaimana hubungan antara problem yang semula hanya bersifat lokal, kemudian diangkat oleh media menjadi isu global seperti yang biasa muncul dalam pengeluaran fatwa-fatwa keagamaan? Persoalan di Afrika mengimbas ke Asia dan begitu sebaliknya, juga persoalan di minoritas muslim di Eropa mengimbas ke masyarakat mayoritas muslim di Asia dan begitu pula sebaliknya.
Adalah kenyataan sejarah, bahwa tahun l960 terjadi imigrasi atau perpindahan penduduk dari negara- negara Muslim ke Eropa. Orang-orang Muslim dari Turki dan Marokko banyak berhijrah ke daratan Eropa dan Australia, sedangkan India dan Pakistan banyak yang pindah ke Inggris. Begitu juga ke Australia. Anak keturunan mereka sudah menjadi warga negara setempat, mempunyai status ekonomi yang mapan dan berperan dalam komunitas baru baik sebagai pedagang, konsultan, ahli hukum, guru, dosen, dan bahkan anggota parlemen. Kepindahan mereka semula karena semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Mereka datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang memang sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi Eropa dan Australia. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, buruh bangunan dan berbagai industri jasa yang lain. Di samping mereka yang pindah sebagai tenaga buruh, ada juga imigrasi intelektual karena untuk melanjutkan studi, belajar menuntut ilmu pengetahuan di Barat dan kemudian tinggal menjadi penduduk di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Jumlah mereka sedikit, tetapi tidak sedikit mereka yang menjadi scholars ternama, intelektual, ahli hukum, insinyur, dokter, dosen, peneliti dan guru besar di berbagai perguruan tinggi di Barat. Mereka berasal dari berbagai negara Muslim seperti Turki, Pakistan, India, Iran, Mesir. Tunis, Marokko, Siria, Afrika Selatan, Bangladesh dan begitu seterusnya. Mereka inilah yang dalam tulisan ini disebut minoritas Muslim di Barat. Di antara nama-nama yang dapat disebut antara lain: Ibrahim M. Abu Rabi’ (Palestina), Bassam Tibbi (Canada), Khaled Abou el-Fadl (Kuwait; USA), M. Arkoun (Aljazair; Perancis), Abdullah Saeed (Australia), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan; USA), Akbar S. Ahmed (Pakistan; Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan; USA), Ismail Raji’ al-Faruqi (Palestina; USA), Sa’diyya Shaikh (Afrika Selatan), Amina Wadud (Afrika Selatan; USA), Leila Ahmad (USA), Farid Esack (Afrika Selatan), Ziba Mir-Hossein (Iran; Inggris), Ibrahim Moosa (Afrika Selatan; USA), Omit Safi (USA). Karya-karya mereka banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan memberi inspirasi pengembangan metodologis studi keislaman di tanah air.
Sejak akhir paroh kedua abad ke-20, apa yang disebut dengan umat Islam sesungguhnya tidak hanya merujuk kepada mereka yang berada di wilayah negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga meliputi dan mencakup minoritas Muslim di India, Eropa, Amerika, Australia dan berbagai tempat atau negara yang lain. Pengalaman kesejarahan, psikologi keummatan, pergaulan sosial-budaya, tingkat kesejahteraan ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan, akses terhadap fasilitas kehidupan modern, persoalan hidup sehari-hari di negara ‘asing’, termasuk pendidikan dan pembinaan keluarga Muslim sangatlah berbeda dari saudara-saudara Muslim mereka yang hidup di negara-negara yang mayoritas Muslim. Jangankan syiar Islam yang biasa diselenggarakan dengan mudah di negara-negara mayoritas Muslim, mendengarkan adzan secara lepas lewat pengeras suara keluar gedung bangunan mushalla atau masjid pun dilarang oleh pemerintah setempat karena akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar yang non-Muslim.
Menghadapi permasalahan konkrit seperti itu, (psikologi) golongan mayoritas merasa humiliated (terhina; tertekan), tetapi bagi golongan minoritas adalah sebagai bentuk ketaatan warganegara minoritas terhadap aturan pemerintah setempat. Mereka juga tidak bisa berpikir dan bertindak seolah-olah berada pada wilayah mayoritas Muslim seperti yang mereka rasakan ketika masih berada di kampung halamannya dahulu. Sudah barang tentu menjaga identitas (identity)sebagai Muslim tidaklah semudah yang dialami oleh saudara-saudara mereka di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim? Apakah mereka harus bercita-cita harus dapat mengikuti aturan-aturan fikih yang berlaku di negara mayoritas Muslim ataukah mereka punya kebebasan berijtihad untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara otonom sesuai dengan dinamika pergulatan sosial-budaya-agama-ekonomi-politik setempat? Apakah fikih dan fatwa-fatwa keagamaan Islam mereka harus mengikuti persis seperti fikih dan fatwa-fatwa keagamaam seperti yang dipahami dan dikeluarkan oleh saudara-saudara mereka di negara mayoritas? Ke depan, hubungan antara fikih aqalliyyah dan fikihaghlabiyyah seperti ini akan menarik untuk diamati, dipelajari, dibahas, dan diteliti, karena kedua kelompok tersebut, mayoritas dan minoritas, saling berinteraksi lewat media elektronik, internet, website, teleconference, bahkan situs-situs yang sangat mudah diakses dan media cetak yang lain.
Apakah problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Leiden, Amsterdam, Frankfurt, Melbourne akan disamakan begitu saja dengan problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Mesir, Riyadh, Karaci dan Jakarta misalnya? Perlu imajinasi geografis dan intelektual sekaligus di sini. What do all Muslims agree upon? (Apa saja to yang memang disepakati oleh semua orang Muslim di manapun mereka berada?) Kemudian, di mana the limit of tolerance (batas-batas toleransi) untuk berbeda dalam membaca dan menafsirkan ajaran agama, sosial dan politik antara wilayah fikih aqalliyyah (minoritas) dan fikihaghlabiyyah (mayoritas)? Pada level akar rumput keummatan, dan lebih-lebih dunia media, baik cetak dan lebih-lebih elektronik, cita-cita perjoangan menuju Masyarakat Utama dan Peradaban Utama memang memerlukan kehati-hatian, ketelitian, kesabaran, tidak grusa-grusu, dan pemikiran genuin-otentik, serta keterbukaan dan keluasan pandangan, jika umat Islam tidak ingin kehilanganmasterplan horison kelokalan dan kesemestaan sekaligus dalam identitas keislaman mereka.
Tidak hanya itu. Yang lebih tajam dan nyata pengaruhnya dalam masyarakat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada adalah dalam bidang kesarjanaan, penelitian, keintelektualan dan keulamaan yang dihasilkan oleh karya tulis dan karya kesarjanaan para intelektual Muslim dari kalangan minoritas Muslim di Eropa, Amerika maupun Australia. Karya-karya kesarjanaan Muslim paska kesarjanaan orientalis ini sungguh-sungguh berbeda dari karya-karya kesarjanaan, keintelektualan dan keulamaan di berbagai negara mayoritas Muslim, karena training kesarjanaan (scholarship) yang mereka lalui dan miliki memang nyata-nyata berbeda baik dari segi metode, pendekatan maupun bahasa asing yang mereka kuasai. Karya tulis kesarjanaan ini dituangkan dalam jurnal keilmuan dan diterbitkan dalam buku-buku literatur keislaman kontemporer. Buku literatur yang ditulis oleh para akademisi, peneliti, intelektual Muslim yang bekerja di berbagai Perguruan Tinggi di Barat ini tidak kecil jumlahnya. Sumbangan mereka tidak kecil dalam pengembangan keilmuan keislaman, khususnya di era kontemporer. Tulisan dan buku-buku mereka dibaca dan diterjemahkan kedalam bahasa Muslim seperti Turki, Iran, Urdu, Arab, Indonesia dan begitu seterusnya.
Banyak ketegangan muncul antara pengalaman tradisi keilmuan keislaman yang dikembangkan di belahan bumi Muslim yang dihuni mayoritas Muslim (Mesir, Tripoli, Khartum, Karaci, Riyadh, Jakarta, Kualalumpur) dan belahan bumi yang dihuni oleh para akademisi Muslim di Perguruan Tinggi di belahan bumi Barat yang dihuni oleh minoritas Muslim (Chicago, Philadelpia, Berlin, Paris, Melbourne). Para pemimpin dan tokoh Muhammadiyah dalam setiap jenjang dan peringkatnya tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab intelektualnya dalam menghadapi tantangan baru ini, sebuah tantangan yang tidak dialami oleh generasi tokoh dan pimpinan Muhammadiyah era 100 tahun pertama, lebih-lebih jika dikaitkan dengan cita-cita besar hendak mewujudkan Masyarakat atau Peradaban Utama. Apakah para tokoh dan pemimpin umat (baca: pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah) di tingkat lokal, regional, nasional, siap menerima kehadiran generasi intelektual Muslim baru dari kalangan minoritas Muslim dari berbagai negara Barat? Siap dan tidaknya menerima kehadiran mereka—dan begitu pula sebaliknya—akan mewarnai dinamika sejarah perabadan Islam abad ke 21 ini.
Kedua, Peran kesejarahan dan peradaban Barat era modern.
Globalisasi pada era sekarang ini, dengan menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memang warisan peradaban Barat. Jika agama ikut membonceng di belakangnya, itu adalah hal lain. Perkembangan dan pengembangan konsep teologi agama juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris lewat penelitian yang mendalam dan berkesinambungan terhadap alam semesta, sosial-kemanusiaan dan sosial-keagamaan adalah bentuk intervensi Barat, meneruskan dan melanjutkan saja apa yang telah dikerjakan oleh para ilmuan Muslim pada abad-abad sebelumnya. Tujuh abad (abad ke 7–14) peradaban Muslim telah pernah menghiasi, mengukir sejarah, untuk tidak menyebutnya menguasai dunia. Bahasa dan tulisan Arab berikut ilmu pengetahuan yang menyertainya pernah digunakan di mana-mana termasuk di wilayah nusantara. Kerajaan dan empireIslam jatuh bangun, saling silih berganti sampai berakhirnya kerajaan Turki-Usmani di awal abad ke 20.
Sejarah berputar dan sejak abad ke l5 sampai dengan abad ke 20 hampir semua wilayah Islam di bawah jajahan Barat. Metode research modern dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan diperkenalkan. Kelautan, kedirgantaraan, ketenagaan, transportasi laut, darat, udara, pertanian, perikanan, kehutanan dan begitu seterusnya sampai ke tenaga nuklir, persenjataan, eksplorasi ruang angkasa, sampai berujung ke teknologi komunikasi, komputerisasi, media elektronik. Berjalan bersamaan pengembangan dan research dalam ilmu-ilmu kemanusiaan sejak dari bahasa, filsafat, sosial, budaya, agama, seni dan begitu seterusnya.
Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media, tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan, bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to reconcile … the religious proclamation, “You are the best community (umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in which members of this very umma rank with the underdogs in the present global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi” dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing dengan Peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat.
Muhammadiyah didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini. “Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah. Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan Muhammadiyah?
Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan? Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat “khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt) mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku hingga sekarang.
Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah ”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity(1990, 59).
Ketiga, Perjumpaaan gerakan Dakwah dan Tajdid dengan gerakan Dakwah dan Jihad.
Mungkin tidaklah terlalu mengada-ada dan tidak pula berlebihan jika dikatakan bahwa perjoangan dan aktivitas keagamaan umat Islam menuju Masyarakat dan atau Peradaban Utama pada abad ke 21 sekarang ini akan diwarnai persinggungan, gesekan, rivalitas dan kontestasi antara model gerakan Dakwah dan Tajdid dan model gerakan Dakwah dan Jihad. Akan terjadi perebutan wilayah dan perseteruan psikis antara kedua model gerakan dakwah ini. Keduanya sama-sama mengklaim anak kandung al-Qur’an dalam upaya untuk merealisasikan cita-cita idealisme “khaira ummah”. Rivalitas kewenangan dan perebutan wilayah kerja dakwah antar pendukung kedua model gerakan dakwah Islamiyyah ini sangat mudah di jumpai di lapangan, baik di tempat-tempat peribadatan (mushalla, masjid, langgar) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren) dan juga majelis taklim. Pernyataan di muka publik, statemen-statemen para tokoh dan pemimpinnya di media masa dan forum-forum keagamaan, media elektronik (tampilan dan konten situs-situs di website), media cetak berupa buletin, selebaran-selebaran, pamplet-pamplet dengan mudah dapat ditengarahi. Khususnya ketika mereka diminta merespon berbagai isu dan persoalan sosial-budaya, sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-keagamaan, hubungan internasional, hubungan antar agama dan begitu seterusnya.
Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive).
Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid berikutnya.
Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jikasibghah (corak khas atau ikon) Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu pembaharuan politik luar negeri negara barat.
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid: Tantangan agenda ke depan
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies danReligious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
Yogyakarta, 21 November 2009

DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. Albany: State University of New York Press, 1996.
Auda, Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 1429H/2008 CE.
Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, 2005.
Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.
Carroll, B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the Gulent Institute, 2007.
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HerperCollins, 2007.
Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.
Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press, 1990.
Hunt, Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens of the Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New Jersey: The Light Publishing, 2007.
Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld Publications, 2003.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002

EMULSI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan di dunia dewasa ini, maka semakin banyak jenis Bahan Makanan yang diproduksi, dijual dan dikonsumsi dalam bentuk yang lebih awet dan lebih praktis dibanding dengan bentuk segarnya. Semua jenis makanan siap santap dan minuman awet tersebut dapat menjadi busuk dan masih layak untuk dikonsumsi. Kemudahan tersebut dapat terwujud diantaranya berkat perkembangan teknologi produksi dan penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM).
Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan yaitu penggunaan bahan tambahan pada Bahan Makanan, untuk berbagai keperluan. penggunaan Bahan tambahan makanan dilakukan pada industri pengolahan pangan maupun dalam pembuatan, berbagai pengaruh jajanan yang umumnya dihasilkan oleh industri kecil atau rumah tangga seperti pengemulsi, pemantap dan pengental Makanan.
Penggunaan bahan makanan pangan tersebut di Indonesia telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang, Peraturan Menteri Kesehatan dan lain-lain disertai dengan batasan maksimum penggunaannya. Di samping itu UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 10 ayat 1 dan 2 beserta penjelasannya erat kaitannya dengan bahan tambahan makanan yang pada intinya adalah untuk melindungi konsumen agar penggunaan bahan tambahan makanan tersebut benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan.
Penggunaan Bahan Tambahan Makanan yang tidak memenuhi syarat termasuk bahan tambahan memang jelas-jelas dilarang, seperti pewarna, pemanis dan bahan pengawet serta pengemulsi,pemantap dan pengental. Pelarangan juga menyangkut dosis penggunaan bahan tambahan makanan yang melampaui ambang batas maksimum yang telah ditentukan (Effendi, 2004). Batas maksimum penggunaan asam alginat adalah 20 g/kg bahan, sedangkan untuk dikalsium fosfat adalah 9 g/kg bahan (Depkes, 1997).
Namun demikian penggunaan bahan tambahan makanan tersebut yang melebihi ambang batas yang ditentukan ke dalam makanan atau produk-produk makanan dapat menimbulkan efek sampingan yang tidak dikehendaki dan merusak bahan makanan itu sendiri, bahkan berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Semua bahan kimia jika digunakan secara berlebih pada umumnya bersifat racun bagi manusia. Tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentolerir seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang disebut ADI atau Acceptable Daily Intake. ADI menentukan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang dapat diterima dan dicerna sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana sifat fisik dan kimiawi dari pengemulsi, pemantap dan pengental ?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari pengemulsi, pemantap dan pengental ?
3. Bagaimana cara penggunaan dari pengemulsi, pemantap dan pengental
4. Berapa batas penggunaan dari penggunaan bahan tambahan pangan yang berupa pengemulsi, pemantap dan pengental ?
5. Bagaimana aspek keamanan dari penggunaan dari pengemulsi, pemantap dan pengental ?

1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui sifat fisik dan kimiawi dari pengemulsi, pemantap dan pengental.
2. Mengetahui mekanisme kerja dari pengemulsi, pemantap dan pengental.
3. Mengetahui cara penggunaan pengemulsi, pemantap dan pengental.
4. Mengetahui batas penggunaan pengemulsi, pemantap dan penegntal.
5. Mengetahui aspek keamanan penggunaan pengemulsi, pemantap dan pengental.

1.4. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalalah agar penulis maupun pembaca mengetahu spesifikasi dari pengemulsi, pemantap dan pengental serta dapat menambah wawasan bagi kemajuan bangsa.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1. BAHAN TAMBAHAN PANGAN
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental.

2.1.1. Beberapa Contoh Zat Aditif
Zat aditif makanan telah dimanfaatkan dalam berbagai proses pengolahan makanan, berikut adalah beberapa contoh zat aditif :
TABEL 1. Beberapa Jenis Zat Aditif dalam Makanan
Zat aditif Contoh Keterangan
Pewarna Daun pandan (hijau), kunyit (kuning), buah coklat (coklat), wortel (orange) Pewarna alami
Sunsetyellow FCF (orange), Carmoisine (Merah), Brilliant Blue FCF (biru), Tartrazine (kuning), dll Pewarna sintesis
Pengawet Natrium benzoat, Natrium Nitrat, Asam Sitrat, Asam Sorbat, Formalin Terlalu banyak mengkonsumsi zat pengawet akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit
Penyedap Pala, merica, cabai, laos, kunyit, ketumbar Penyedap alami
Mono-natrium glutamat/vetsin (ajinomoto/sasa), asam cuka, benzaldehida, amil asetat, dll Penyedap sintesis
Antioksidan Butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena (BHT), tokoferol Mencegah Ketengikan
Pemutih Hidrogen peroksida, oksida klor, benzoil peroksida, natrium hipoklorit -
Pemanis bukan gula Sakarin, Dulsin, Siklamat Baik dikonsumsi penderita diabetes, Khusus siklamat bersifat karsinogen
Pengatur keasaman Aluminium amonium/kalium/natrium sulfat, asam laktat Menjadi lebih asam, lebih basa, atau menetralkan makanan
Anti Gumpal Aluminium silikat, kalsium silikat, magnesium karbonat, magnesium oksida Ditambahkan ke dalam pangan dalam bentuk bubuk

2.1.2. Alasan Penggunaan BTP, yaitu:
a. Untuk mempertahankan konsistensi produk.
Emulsifier memberikan tekstur produk berbentuk emulsi atau suspensi yang konsisten dan mencegah pemisahan fasa air dengan fasa lemak suatu emulsi atau pemisahan fasa cair dan fasa padat suatu suspensi. Penstabil dan pengental menghasilkan tekstur yang lembut dan homogen pada pangan tertentu.
b. Untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi.
Vitamin dan mineral yang ditambahkan ke dalam pangan seperti susu, tepung, serelia lain dan margarin untuk memperbaiki kekurangan zat tersebut dalam diet seseorang atau mengganti kehilangannya selama proses pengolahan pangan. Fortifikasi dan pengayaan pangan semacam ini telah membantu mengurangi malnutrisi dalam populasi masyarakat Amerika. Semua pangan yang mengandung nutrien yang ditambahkan harus diberi label yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional atau sesuai ketentuan masing-masing negara.
c. Untuk mempertahankan kelezatan dan kesehatan (wholesomeness) pangan.
Pengawet menahan kerusakan pangan yang disebabkan oleh kapang, bakteria, fungi atau khamir. Kontaminasi bakteria dapat menyebabkan penyakit yang dibawa makanan (food born illness) termasuk botulism yang membahayakan kehidupan.
Antioksidan adalah pengawet yang mencegah terjadinya bau yang tidak sedap. Antioksidan juga mencegah potongan buah segar seperti apel menjadi coklat bila terkena udara.
d. Mengembangkan atau mengatur keasaman/kebasaan pangan.
Bahan pengembang yang melepaskan asam bila dipanaskan bereaksi dengan baking soda membantu mengembangkan kue, biskuit dan roti selama proses pemanggangan. Pengatur keasaman/kebasaan membantu memodifiksi keasaman/kebasaan pangan agar diperoleh bau, rasa dan warna yang sesuai.
e. Untuk menguatkan rasa atau mendapatkan warna yang diinginkan.
Berbagai jenis bumbu dan penguat rasa sintetik atau alami memperkuat rasa pangan. Sebaliknya warna memperindah tampilan pangan tertentu untuk memenuhi ekspektasi konsumen.

2.2. PENGEMULSI
Emulsifier atau zat pengemulsi adalah zat untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air. Umumnya emulsifier merupakan senyawa organik yang memiliki dua gugus, baik yang polar maupun nonpolar sehingga kedua zat tersebut dapat bercampur. Gugus nonpolar emulsifier akan mengikat minyak (partikel minyak dikelilingi) sedangkan air akan terikat kuat oleh gugus polar pengemulsi tersebut. Bagian polar kemudian akan terionisasi menjadi bermuatan negatif, hal ini menyebabkan minyak juga menjadi bermuatan negatif. Partikel minyak kemudian akan tolak-menolak sehingga dua zat yang pada awalnya tidak dapat larut tersebut kemudian menjadi stabil.
Salah satu contoh pengemulsi yaitu sabun yang merupakan garam karboksilat.Molekul sabun tersusun atas ekor alkil yang non-polar (akan mengelilingi molekul minyak) dan kepala karboksilat yang bersifat polar (mengikat air dengan kuat). Pada industri makanan, telur dikenal sebagai pengemulsi (emulsifier) tertua yang pernah ada. Di dalam telur (banyak pada kuning telur dan sedikit pada putih telur) terdapat lesitin yang merupakan suatu emulsifier. Contoh bahan yang dibuat dengan cara ini adalah mentega, margarin, dan sebagian besar kue.

2.2.1. Pengertian Emulsi
Menurut FI Edisi IV, emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Stabilitas emulsi dapat dipertahankan dengan penambahan zat yang ketiga yang disebut dengan emulgator (emulsifying agent)
Emulsi berasal dari kata emulgeo yang artinya menyerupai milk, warna emulsi adalah putih. Pada abad XVII hanya dikenal emulsi dari biji-bijian yang mengandung lemak, protein dan air. Emulsi semacam ini disebut emulsi vera atau emulsi alam, sebagai emulgator dipakai protein yang terdapat dalam biji tersebut.
Pada pertengahan abad ke XVIII, ahli farmasi Perancis memperkenalkan pembuatan emulsi dari oleum olivarum, oleum anisi dan eugenol oil dengan menggunakan penambahan gom arab, tragacanth, kuning telur. Emulsi yang terbentuk karena penambahan emulgator dari luar disebut emulsi spuria atau emulsi buatan.
Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat bercampur, biasanya minyak dan air yang stabilitasnya dapat dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan diberi tanda sebagai emulsi “A/M”.
Emulsi dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan emulgator atau surfaktan yang cocok. (Depkes RI, 1979)
Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispersi terdiri dari bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi keseluruh pembawa yang tidak bercampur. (Ansel, 1989)

2.2.2. Komponen Emulsi
Komponen dari emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :
1. Komponen dasar
Adalah bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat didalam emulsi. Terdiri atas :
 Fase dispers / fase internal / fase diskontinue
Yaitu zat cair yang terbagi- bagi menjadi butiran kecil ke dalam zat cair lain.
 Fase kontinue / fase external / fase luar
Yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut.
 Emulgator.
Adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi. Dalam pemilihan emulgator harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a) Emulgator harus bercampur dengan komponen-komponen lain dalan sediaan.
b) Emulgator tidak boleh mempengaruhi stabilitas dan efek terapeutik dari obat.
c) Emulgator harus stabil, tidak boleh terurai dan tidak toksik.
d) Mempunyai bau, warna, dan rasa yang lemah.

2. Komponen tambahan
Bahan tambahan yang sering ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen saporis, odoris, colouris, preservative (pengawet), anti oksidan.
Preservative yang digunakan antara lain metil dan propil paraben, asam benzoat, asam sorbat, fenol, kresol dan klorbutanol, benzalkonium klorida, fenil merkuri asetas dan lain – lain.
Antioksidan yang digunakan antara lain asam askorbat, L.tocopherol, asam sitrat, propil gallat , asam gallat.

2.2.3. Tipe Emulsi
Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun external, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Emulsi tipe O/W ( oil in water) atau M/A ( minyak dalam air).
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar kedalam air. Minyak sebagai fase internal dan air sebagai fase external. Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang berupa air. Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari 31% sehingga emulsi M/A dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan sangat mudah dicuci.
Dalam formula pembuatan pembuatan emulsi terdapat zat berkhasiat , terdapat juga dua zat yang tidak bercampur yang mempunyai fase minyak dalam air atau air dalam minyak, biasanya yang stabilitasnya dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Zat pengemulsi (emulgator) adalah komponen yang ditambahkan untuk mereduksi bergabungnya tetesan dispersi dalam fase kontinu sampai batas yang tidak nyata. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antar tetesan dalam fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan berkoalesensi, juga mengurangi tegangan antarmuka antar fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. Penggunaan emulgator biasanya diperlukan 5% – 20% dari berat fase minyak. (Anief, 2004)

2. Emulsi tipe W/O ( water in oil ) atau A/M ( air dalam minyak)
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar kedalam minyak. Air sebagai fase internal dan minyak sebagai fase external. Emulsi ini mengandung air yang merupakan fase internalnya dan minyak merupakan fase luarnya. Emulsi tipe A/M umumnya mengandung kadar air yang kurang dari 25% dan mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi jenis ini dapat diencerkan atau bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit bercampur/dicuci dengan air.

2.2.4. Tujuan pemakaian emulsi
Emulsi dibuat untuk diperoleh suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling tidak bisa bercampur. Tujuan pemakaian emulsi adalah :
1. Dipergunakan sebagai obat dalam / per oral. Umumnya emulsi tipe o/w
2. Dipergunakan sebagai obat luar.
Bisa tipe o/w maupun w/o tergantung banyak faktor misalnya sifat zatnya atau jenis efek terapi yang dikehendaki.

2.2.5. Teori Terjadinya Emulsi
Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal 4 macam teori , yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Teori tersebut ialah :
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension)
Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang disebut daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik menarik antara molekul yang tidak sejenis yang disebut daya adhesi.
Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseim -bangan daya kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan tegangan permukaan (surface tension).
Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan bidang batas dua cairan yang tidak dapat bercampur (immicible liquid). Tegangan yang terjadi antara dua cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas (interfacial tension).
Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang mengakibatkan antara kedua zat cair itu semakin susah untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa organik tertentu antara lain sabun (sapo).
Dalam teori ini dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan menghilangkan tegangan yang terjadi pada bidang batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.

2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge)
Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni :
• Kelompok hidrofilik, yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air.
• Kelompok lipofilik , yaitu bagian yang suka pada minyak.
Masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang disenanginya, kelompok hidrofil kedalam air dan kelompok lipofil kedalam minyak. Dengan demikian emulgator seolah-olah menjadi tali pengikat antara air dan minyak. Antara kedua kelompok tersebut akan membuat suatu keseimbangan.
Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang besarnya tidak sama.Harga keseimbangan itu dikenal dengan istilah H.L.B. (Hydrophyl Lipophyl Balance) yaitu angka yang menunjukkan perbandingan antara kelompok lipofil dengan kelompok hidrofil .
Semakin besar harga HLB berarti semakin banyak kelompok yang suka pada air, itu artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian sebaliknya.
Dalam tabel dibawah ini dapat dilihat keguaan suatu emulgator ditinjau dari harga HLB-nya.
Tabel 2. Keguaan Suatu Emulgator Ditinjau Dari Harga HLB
HARGA HLB K E G U N A A N
1 - 3 Anti foaming agent
4 – 6 Emulgator tipe w/o
7 – 9 Bahan pembasah ( wetting agent)
8 – 18 Emulgator tipe o/w
13 - 15 Detergent
10 – 18 Kelarutan (solubilizing agent)

Untuk menentukan komposisi campuran emulgator sesuai dengan nilai HLB yang dikehendaki , dapat dilakukan dengan contoh perhitungan seperti tersebut dibawah ini.
Contoh :
Pada pembuatan 100 ml emulsi tipe o/w diperlukan emulgator dengan harga HLB 12. Sebagai emulgator dipakai campuran Span 20 (HLB 8,6) dan tween 20 (HLB 16,7) sebanyak 5 gram. Berapa gram masing-masing berat Span 20 dan Tween 20 ?
Jawab :
Rumus I

A % b = x 100 %

B % a = ( 100% - A%)
Keterangan :
x = Harga HLB yang diminta ( HLB Butuh)
A = Harga HLB tinggi
B = Harga HLB rendah

% Tween = X 100% = 42%
X 5 gram = 2,1 gram
% Span = 100 % - 42 % = 58 %
X 5 gram = 2,9 gram

Rumus II.

(B1 x HLB1) + (B2 x HLB2) = (B campuran x HLB campuran)

B = Berat emulgator
Misalnya berat tween = X
Berat span = 5 – X
(X x 16,7) + (5-X) x 8,6 = 5 x 12
16,7 X + 43 – 8,6 X = 60
8,1X = 60 – 43
X = = 2,1 gram ( tween)
Berat span = 5 – 2,1 = 2,9 gram
Cara menghitung nilai HLB dari campuran surfaktan
Contoh :
R/ Tween 80 70% HLB = 15
Span 80 30% HLB = 4,5
Perhitungan :
Cara I
Tween 80 = x 15 = 10,5
Span 80 = x 4,5 = 01,35
HLB Campuran 11,85

Cara II. (Cara Aligatie)


Tween 80
15
(X – 4,5)

(X – 4,5) : (15 – X) = 70 : 30 = 7 : 3
(X – 4,5) 3 = 7 (15 – X)
3X – 13,5 = 105 – 7X
10X = 118,5
X = 11,85
X



Span 80



4,5


(15 – X) Jadi HLB Campuran = 11,85

Tabel 3. Nilai HLB beberapa surfaktan
Zat HLB Zat HLB
Tween 20
Tween 40
Tween 80
Tween 60
Tween 85
Tween 65
16,7
15,6
15,0
14,9
11,0
10,5
Span 20
Span 60
Span 80
Arlacel 83
Gom
Trietanolamin 8,6
4,7
4,3
3,7
8,0
12,0

Tabel 4. Nilai HLB Butuh beberapa zat yang sering dipakai.
Nama Zat HLB butuh (type a/m) HLB butuh (type m/a)
Asam stearat
Setil alcohol
Paraffin
Vaselin
Cera alba 6

5
5
4 15
15
12
12
12

3. 3. Teori Interparsial Film
Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase disper.
Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase disper menjadi stabil.
Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi, syarat emulgator yang dipakai adalah :
 dapat membentuk lapisan film yang kuat tapi lunak
 jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase- dispers
 dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua permukaan partikel dengan segera.

4. Teori electric double layer ( lapisan listrik rangkap)
Jika minyak terdispersi ke dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh 2 benteng lapisan listrik yang saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan mengadakan penggabungan menjadi satu molekul yang besar, karena susunan listrik yang menyelubungi setiap partikel minyak mempunyai susunan yang sama. Dengan demikian antara sesama partikel akan tolak-menolak , dan stabilitas emulsi akan bertambah.
Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh salah satu dari ke tiga cara dibawah ini,
 terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel
 terjadinya absorbsi ion oleh partikel dari cairan disekitarnya.
 terjadinya gesekan partikel dengan cairan disekitarnya.

2.2.6. Bahan Pengemulsi (Emulgator)
2.2.6.1. Emulgator alam
Yaitu emulgator yang diperoleh dari alam tanpa proses yang rumit. Dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu :
1. Emulgator alam dari tumbuh-tumbuhan.
Pada umumnya termasuk karbohydrat dan merupakan emulgator tipe o/w, sangat peka terhadap elektrolit dan alkohol kadar tinggi, juga dapat dirusak bakteri. Oleh sebab itu pada pembuatan emulsi dengan emulgator ini harus selalu ditambah bahan pengawet.
a. Gom Arab
Sangat baik untuk emulgator tipe o/w dan untuk obat minum. Emulsi yang terbentuk sangat stabil dan tidak terlalu kental. Kestabilan emulsi yang dibuat dengan gom arab berdasarkan 2 faktor yaitu
• kerja gom sebagai koloid pelindung (teori plastis film)
• terbentuknya cairan yang cukup kental sehingga laju pengendapan cukup kecil sedangkan masa mudah dituang (tiksotropi)
Bila tidak dikatakan lain maka emulsi dengan gom arab menggunakan gom arab sebanyak ½ dari jumlah minyaknya.
Untuk membuat corpus emulsi diperlukan air 1,5 X berat gom, diaduk keras dan cepat sampai putih , lalu diencerkan dengan air sisanya. Selain itu dapat disebutkan :
• Lemak-lemak padat : PGA sama banyak dengan lemak padat
Cara pembuatan .
Lemak padat dilebur lalu ditambahkan gom, buat corpus emulsi dengan air panas 1,5 X berat gom . Dinginkan dan encerkan emulsi dengan air dingin. Contoh : cera, oleum cacao, parafin solid
• Minyak atsiri : PGA sama banyak dengan minyak atsiri
• Minyak lemak : PGA ½ kali berat minyak, kecuali oleum ricini karena memiliki gugus OH yang bersifat hidrofil sehingga untuk membuat emulsi cukup dibutuhkan 1/3 nya saja. Contoh : Oeum amygdalarum
• Minyak Lemak + minyak atsiri + zat padat larut dalam minyak lemak
Kedua minyak dicampur dulu, zat padat dilarutkan dalam minyaknya, tambahkan gom ( ½ x myk lemak + aa x myk atsiri + aa x zat padat )
• Bahan obat cair BJ tinggi, contohnya chloroform, bromoform :
Ditambah minyak lemak 10 x beratnya, maka BJ campuran mendekati satu. Gom sebanyak ¾ kali bahan obat cair.
• Balsam-balsam
Gom sama banyak dengan balsam.
• Oleum Iecoris Aseli
Menurut Fornas dipakai gom 30 % dari berat minyak.

b. Tragacanth
Dispersi tragacanth dalam air sangat kental sehingga untuk memperoleh emulsi dengan viskositas yang baik hanya diperlukan trgacanth sebanyak 1/10 kali gom arab. Emulgator ini hanya bekerja optimum pada pH 4,5 – 6.
Tragacanth dibuat corpus emulsi dengan menambahkan sekaligus air 20 x berat tragacanth. Tragacanth hanya berfungsi sebagai pengental tidak dapat membentuk koloid pelindung.

c. Agar-agar
Emulgator ini kurang efektif apabila dipakai sendirian. Pada umumnya zat ini ditambahkan untuk menambah viskositas dari emulsi dengan gom arab.
Sebelum dipakai agar-agar tersebut dilarutkan dengan air mendidih Kemudian didinginkan pelan-pelan sampai suhu tidak kurang dari 45oC (bila suhunya kurang dari 45oC larutan agar-agar akan berbentuk gel). Biasanya digunakan 1-2 %

d. Chondrus
Sangat baik dipakai untuk emulsi minyak ikan karena dapat menutup rasa dari minyak tersebut. Cara mempersiapkan dilakukan seperti pada agar.

e. Emulgator lain
Pektin, metil selulosa, karboksimetil selulosa 1-2 %.

2. Emulgator alam dari hewan
a. Kuning telur
Kuning telur mengandung lecitin (golongan protein / asam amino) dan kolesterol yang kesemuanya dapat berfungsi sebagai emulgator. Lecitin merupakan emulgator tipe o/w. Tetapi kemampuan lecitin lebih besar dari kolesterol sehingga secara total kuning telur merupakan emulgator tipe o/w. Zat ini mampu mengemulsikan minyak lemak empat kali beratnya dan minyak menguap dua kali beratnya.

b. Adeps Lanae
Zat ini banyak mengandung kholesterol , merupakan emulgator tipe w/o dan banyak dipergunakan untuk pemakaian luar. Penambahan emulgator ini akan menambah kemampuan minyak untuk menyerap air. Dalam keadaan kering dapat menyerap air 2 X beratnya.
Contoh resep emulsi dengan adeps lanae :
R/ Adeps lanae 100
Ol. Olivarum 400 ml
Zinc. Oxyd 100
Talc. 100
Sol. Pb. Acet. 28 ml
Aq. Calcis ad 1000 ml

3. Emulgator alam dari tanah mineral.
a. Magnesium Aluminium Silikat/ Veegum
Merupakan senyawa anorganik yang terdiri dari garam - garam magnesium dan aluminium. Dengan emulgator ini, emulsi yang terbentuk adalah emulsi tipe o/w. Sedangkan pemakaian yang lazim adalah sebanyak 1 %. Emulsi ini khusus untuk pemakaian luar.

b. Bentonit
Tanah liat yang terdiri dari senyawa aluminium silikat yang dapat mengabsorbsikan sejumlah besar air sehingga membentuk massa sepert gel. Untuk tujuan sebagai emulgator dipakai sebanyak 5 %.

• Emulgator buatan
1. Sabun.
Sangat banyak dipakai untuk tujuan luar, sangat peka terhadap elektrolit. Dapat dipergunakan sebagai emulgator tipe o/w maupun w/o, tergantung dari valensinya. Bila sabun tersebut bervalensi 1, misalnya sabun kalium, merupakan emulgator tipe o/w, sedangkan sabun dengan valensi 2 , missal sabun kalsium, merupakan emulgator tipe w/o.
2. Tween 20 : 40 : 60 : 80
3. Span 20 : 40 : 80

Emulgator dapat dikelompokkan menjadi :
• Anionik : sabun alkali, natrium lauryl sulfat
• Kationik : senyawa ammmonium kuartener
• Non Ionik : tween dan span.
• Amfoter : protein, lesitin.

2.2.7. Cara Pembuatan Emulsi
Dikenal 3 metode dalam pembuatan emulsi , secara singkat dapat dijelaskan :
1. Metode gom kering atau metode kontinental.
Dalam metode ini zat pengemulsi (biasanya gom arab) dicampur dengan minyak terlebih dahulu, kemudian ditambahkan air untuk pembentukan corpus emulsi, baru diencerkan dengan sisa air yang tersedia.

2. Metode gom basah atau metode Inggris.
Zat pengemulsi ditambahkan ke dalam air (zat pengemulsi umumnya larut) agar membentuk suatu mucilago, kemudian perlahan-lahan minyak dicampurkan untuk mem-bentuk emulsi, setelah itu baru diencerkan dengan sisa air.

3. Metode botol atau metode botol forbes.
Digunakan untuk minyak menguap dan zat –zat yang bersifat minyak dan mempunyai viskositas rendah (kurang kental). Serbuk gom dimasukkan ke dalam botol kering, kemudian ditambahkan 2 bagian air, tutup botol kemudian campuran tersebut dikocok dengan kuat. Tambahkan sisa air sedikit demi sedikit sambil dikocok.

Alat – alat yang digunakan dalam pembuatan emulsi
Untuk membuat emulsi biasa digunakan :
1. Mortir dan stamper
Mortir dengan permukaan kasar merupakan mortir pilihan untuk pembuatan emulsi yang baik.
2. Botol
Mengocok emulsi dalam botol secara terputus-putus lebih baik daripada terus menerus, hal tersebut memberi kesempatan pada emulgator untuk bekerja sebelum pengocokan berikutnya.
3. Mixer, blender
Partikel fase disper dihaluskan dengan cara dimasukkan kedalam ruangan yang didalamnya terdapat pisau berputar dengan kecepatan tinggi , akibat putaran pisau tersebut, partikel akan berbentuk kecil-kecil.
4. Homogeniser
Dalam homogenizer dispersi dari kedua cairan terjadi karena campuran dipaksa melalui saluran lubang kecil dengan tekanan besar.
5. Colloid Mill
Terdiri atas rotor dan stator dengan permukaan penggilingan yang dapat diatur. Coloid mill digunakan untuk memperoleh derajat dispersi yang tinggi cairan dalam cairan

2.2.8. Cara Membedakan Tipe Emulsi
Dikenal beberapa cara membedakan tipe emulsi yaitu :
1. Dengan pengenceran fase.
Setiap emulsi dapat diencerkan dengan fase externalnya. Dengan prinsip tersebut, emulsi tipe o/w dapat diencerkan dengan air sedangkan emulsi tipe w/o dapat diencerkan dengan minyak.

2. Dengan pengecatan/pemberian warna.
Zat warna akan tersebar rata dalam emulsi apabila zat tersebut larut dalam fase external dari emulsi tersebut. Misalnya (dilihat dibawah mikroskop)
- Emulsi + larutan Sudan III dapat memberi warna merah pada emulsi tipe w/o, karena sudan III larut dalam minyak
- Emulsi + larutan metilen blue dapat memberi warna biru pada emulsi tipe o/w karena metilen blue larut dalam air.

3. Dengan kertas saring.
Bila emulsi diteteskan pada kertas saring , kertas saring menjadi basah maka tipe emulsi o/w, dan bila timbul noda minyak pada kertas berarti emulsi tipe w/o.

4. Dengan konduktivitas listrik
Alat yang dipakai adalah kawat dan stop kontak, kawat dengan K ½ watt lampu neon ¼ watt semua dihubung- kan secara seri. Lampu neon akan menyala bila elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi tipe o/w, dan akan mati dicelupkan pada emulsi tipe w/o

2.2.9. KESTABILAN EMULSI.
Stabilitas suatu emulsi adalah suatu sifat emulsi untuk mempertahankan distribusi halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. (Voigt. R, 1995)
a) Faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi yaitu :
i. Pengaruh viskositas
Ukuran partikel yang didistribusi partikel menunjukkan peranannya dalam menentukan viskositas emulsi. Umumnya emulsi dengan partikel yang makin halus menunjukkan viskositas yang makin besar dibandingkan dengan emulsi dengan partikel yang lebih kasar. Jadi, emulsi dengan distribusi partikel yang besar memperlihatkan viskositas yang kurang / kecil.
Untuk mendapatkan suatu emulsi yang stabil atau untuk menaikkan stabilitas suatu emulsi dapat dengan cara menambahkan zat-zat yang dapat menaikkan viskositasnya dari fase luar. Bila viskositas fase luar dipertinggi maka akan menghalangi pemisahan emulsi.

ii. Pemakaian alat khusus dalam mencampur emulsi
Dalam pencampuran emulsi dapat dilakukan dengan mortir secara manual dan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan tenaga listrik seperti mikser. Untuk membuat emulsi yang lebih stabil, umumnya proses pengadukannya dilakukan dengan menggunakan alat listrik. Disamping itu penggunaan alat dapat mempercepat distribusi fase internal kedalam fase kontinu dan peluang terbentuknya emulsi yang stabil lebih besar.

iii. Perbandingan optimum fase internal dengan fase kontinuitas
Suatu produk emulsi mempunyai nilai perbandingan fase dalam dan fase luar yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan jenis bahan yang digunakan ataupun karena adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada setiap bahan emulsi yang digunakan.Umumnya emulsi yang stabil memiliki nilai range fase dalam antara 40% sampai 60% dari jumlah seluruh bahan emulsi yang digunakan.

Emulsi dikatakan tidak stabil bila mengalami hal-hal seperti dibawah ini :
1. Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi 2 lapisan, dimana yang satu mengandung fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. Creaming bersifat reversible artinya bila digojok perlahan-lahan akan terdispersi kembali.

2. Koalesen dan cracking (breaking) adalah pecahnya emulsi karena film yang meliputi partikel rusak dan butir minyak akan koalesen(menyatu).Sifatnya irreversible ( tidak bisa diperbaiki). Hal ini dapat terjadi karena :
• Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan CaO/CaCl2 exicatus.
• Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan, pengadukan.

3. Inversi adalah peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi w/o menjadi o/w atau sebaliknya. Sifatnya irreversible.

2.2.10. Zat Aditif Emulsi
Tabel 5. Beberapa Zat Aditif Pengemulsi
Kode E Nama Jenis Asal
E322 Lecithins Pengemulsi dan Penstabil Kedelai
E400 Alginic Acid Pengemulsi dan Penstabil
E401 Sodium Alginate Pengemulsi dan Penstabil
E402 Potasium Alginate Pengemulsi dan Penstabil
E403 Ammonium alginate Pengemulsi dan Penstabil
E404 Calcium alginate Pengemulsi dan Penstabil
E405 Propane-1,2-Diol Alginate (Propylene glycol alginate; alginate ester) Pengemulsi dan Penstabil
E406 agar Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E407 Carrageenan Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E410 Locust Bean Gum (Carob Gum) Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E412 Guar gum Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E413 Tragacanth Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E414 Gum acacia (Gum Arabic) Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E415 Xanthan gum Pengemulsi dan Penstabil-gum tumbuhan
E416 Karaya gum (Sterculia gum, Indian tragacanth Pengemulsi dan penstabil
E430 Polyoxyethylene (8) stearate pengemulsi
E431 Polyoxyethylene (40) stearate (Polyoxyl 40 stearate) pengemulsi
E432 Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate (Polysorbate 20,Tween 20) pengemulsi
E433 Polyoxyethylene (20) sorbitan mono-oleate (Polysorbate 80,Tween 80 pengemulsi
E434 Polyoxyethylene (20) sorbitan monopalmitate (polysorbate 40: Tween 40) pengemulsi
E435 Polyoxyethylene (20) sorbitan monostearate (Polysorbate 60;Tween 60) pengemulsi
E436 Polyoxyethylene (20) sorbitan tristearate (Polysorbate 65; Tween 65) pengemulsi
E440a Pectin Pengemulsi dan Penstabil-Pektin dan turunannya
E440b Amidated Pectin Pengemulsi dan Penstabil-Pektin dan turunannya
E442 Ammonium phosphatides (Emulsifier YN) Pengemulsi, penstabil
E460 Microcrystalline /Powdered Cellulose Pengemulsi dan Penstabil
E465 Ethylmethylcellulose Pengemulsi dan Penstabil-Selulosa dan turunannya
E466 Carboxymethylcellulose, Sodium Salt Pengemulsi dan Penstabil-Selulosa dan turunannya
E470 Sodium, potassium and Calcium Salts of Fatty Acids Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak
E471 Mono-and Diglycerides of Fatty Acids Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak
E472 Various Esters of Mono and Diglycerides of Fatty Acids Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak
E473 Sucrose Esters of Fatty Acids Sucroglycerides,Polyglycerol Esters of Fatty Acid,Polyglycerol esters of polycendensed fatty acids of castor oil (Polyglycerol of polyricinoleate) Pengemulsi, penstabil ( gliserol)
E477 Propane-1,2-Diol Esters of Fatty Acids Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak Asam lemak
E481 Sodium Stearoyl-2-Lactylate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM LEMAK
E482 Calcium Stearoyl-2-Lactylate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM LEMAK
E483 Stearyl Tartrate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM LEMAK
E491 Sorbitan Monostearate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM STEARAT DAN SORBITOL
E492 Sorbitan Tristearate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM STEARAT DAN SORBITOL
E493 Sorbitan Monolaurate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM STEARAT DAN SORBITOL
E494 Sorbitan Monooleate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM OLEAT
E495 Sorbitan Monopalmitate Pengemulsi dan Penstabil-Garam atau Ester dari Asam Lemak ASAM PALMITAT

2.3. PEMANTAP
Tekstur adalah salah satu pangan yang penting,tentu saja dapat dinyatakan bahwa nilai gizi merupakan unsur penentu mutu pangan yang paling penting. Sering nilai gizi bukan merupakan dasar utama pemilihan pangan. Memang jika pangan tidak diterima secara estetika,pangan tidak mendapatkan kesempatan untuk berperan pada pemenuhan kebutuhan gizi seseorang.
Secara umum,bahan-bahan pengental dan pembentuk gel yang larut dalam air disebut dengan GOM, pentingnya gom dalam produk pangan adalah berdasarkan kepada ciri suka airnya yang mempengaruhi struktur pangan dan sifat-sifat yang berkaitan dengan ciri tersebut.
Gom sebagaian besar terdapat pada alami dibutuhkan sebagai bahan penting yang dapat berfungsi sebagai bahan pengental,pembentuk gel dan penbentuk lapisan tipis,serta penggunaan lainnya yang berhubungan dengan fungsi tersebut,yaitu sebagai suspensi,pengemulsi,pemantap emulsi,dan lain-lain.

2.3.1. PENGGOLONGAN
Batasan teknis mengenai gom yang sekarang banyak diterima adalah bahan polimer rantai panjang yang berat molekulnya besar dan dapat larut atau membentuk dispersi dalam air dan memberi akibat pengentalan dan sering memberi akibat pembentuk gel. Bahan-bahan tersebut berupa koloid, maka sering disebut koloid hidrofilik atau hidrokoloid.
Batasan GOM seperti tersebut, disamping meliputi polisakarida tanaman alami, seperti beberapa getah tanaman,ekstrak rumput laut,pektin, dan pati,termasuk juga protein,gelatin dan kasein,turunan kimiawi sellulosa,turunan dari pati dan selulosa, dan polisakarida seperti polivinil pirolidon (PVP) dan polimer etilen oksida. Untuk mudahnya beberapa jenis gom dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Gom alami, yaitu gom yang diperoleh secara alami, seperti gom arab dan alganit.
2. Gom termodifikasi atau gom semisintetik, yaitu turunan kimiawi bahan alami seperti turunan selulosa dan pati.
3. Gom sintetik, yaitu bahan yang sepenuhnya hasil sintetik kimiawi seperti polivinil pirolidon.

2.3.2. KEKENTALAN
Di samping sifat kelarutanya di dalam air,sifat lain gom yang penting adalah bahwa gom dapat menghasilkanlarutan yang kental atau dispersi dalam air.Banyak keragaman sifat kekentalan larutan jenis-jenis gom.Gom arab dan gom larch dapat membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi 10-20%.Larutan 1% gom tragakn,gom guar,dan gom kacang lokus adalah sangat kental.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai kekentalan suatu dispersi gom dalam air juga beragam>Karboksimetil selulosa dan gom dalam air dapat mencapai kekentalan maksimum dengan cepat dalam air dingin.Gom-gom lainseperti tragakan,memerlukan waktu pemanasan yang lama untuk mencapai kakantalan maksimum.Secara umum,kekeentalan gom selain tergantung pada jenis,suhu,kepekatan,tingkat polimerisasi gom,dan bahan-bahan lain dalam larutan.

2.2.3. Sifa-Sifat Dan Tujuan Pengguna Beberapa Gom
a.Gelatin
Gelatin dapat diperoleh dari kolagen yang dapat dijumpai pada kulit dan tulang belulang dan kasein tulang. Perubahan kolegan menjai gelatin dihasilkan dengan ekstraksi kolegan dengan air panas setelah perlakuan dengan asam atau basa.perlakuan kimia yang berbeda itu menghasilkan gelatin A dan gelatin B.Kedua jenis tersebut dapat dibedakan berdsarkan titik isoelektriknya,Yaitu gelatin A pda pH 8-9 dan gelatin B pada pH 5. Perbedaan jenis gelatin, keadaan bahan mentah, dan keadaan dalam proses dapat menghasilkan gelatin yang mempunyai sifat fisik yang berbeda dan dapat mempengaruhi penampilan sampai pada suatu tingkatan.
Gel gelatin umumnya dapat baik secara termis dan tidak mengalami sinersis. Gelatin B tidak cocok digunakan pada Keadaan pH lebih rendah dari4,5; khusus nya bila digunakan pemanasan padasuhu tinggi. Meskipun demikian, pengaruh yang dapat mencegah gelatin tersebut dapat diimbangi dengan menggunakan gelatin yang lebih banyak jika pengolahan dikendalikan dengan baik-naik.
Gelatin umumnya tidak larut dalam air dingin, tetapi kelarutannya naik pada suhu diatas 45 C, kecuali bubuk gelatin yang diperoleh dengan spray drying. Gel gelatin melebur pada suhu 25-28 C tergantung pada kandungan padatan dalam larutan. Sifat tersebut menyebabkan keterbatasan penggunaan gelatin.
Gelatin digunakan luas dalam industri pangan untuk pembuatun kristal jeli,puding yang dibungkus, es krim, sosis, dan dalam pengalengan daging. Gelatin juga dapat digunakan dalam penjernihan minuman hasil fermentasi, misalnya anggur dan lain-lain, digunakan sebagai penahan buih dalam bir dan banyak digunakan sebagai bahanpembuatan kapsul dalam industri farmasi.Meskipun harganya mahal dibanding dgn harga hidrokoloid lainnya berdasarkan penggunaannya, peran gelatin dapat bertahan dalam pasaran untuk penggunaan dalam es krim,gelatin memberi sifat tekstur yg khas dan tahan terhadap perubahan suhu mendadak. Sifat tekstur khas tersebut sangatbeerbeda terhadap tekstur ea krim yg mengandung gom santan atau gom kacang lokus atau campurannya sebagai pemantap.

B. Pektin
Dalam pembahasan mengenai pektin perlu di kemukakan istilah-istilah umum yang dipakai untuk membatasi pengertian beberapa senyawa yang ,erupakan penyusunan pektin atau yang berkaitan erat dengan pengertian pektin. Bahan-bahan pektin adalah suatu bahan hidrokoloid karbohidrat yang terdapat pada jaringan tanaman tingkat tinggi da umum y berada bersama-sama dengan lingin dan hemi selulosa.Bahan –bahan pektin merupakan polimer asam galakturonat yang berkaitan dengan 1-4. Asam poli galakturonat tersebut tersertifikasi sebagai metil ester (COOCH3) yang tingkat esterifikasinya dapat beragam dan sebagian jumlah karboksil dapat berikatan dengan basa.
Pectin adalah istilah untuk bahan-bahan pectin yang tersesterifikasi sebagian ataupun ternetralisasi sebagian gugus karboksilnya. Pectin terdapat hamper pada semua tumbuhan tingkat tinggi, terdapat pada dinding sel lapisan-lapisan antarsel. Fungsi utamanya adalah sebagai perekat.
Penggunaan pectin dalam pangan, pectin harus larut seluruhnya untuk menghindari pembentukan gel yang tidak merata. Pelarutan seluruhnya memungkinkan penggempalan tidak terjadi. Jika pectin mengental akan sulit sekali untuk melarutkannya. Pectin dapat dibuat disperse terlebih dahulu dengan cara baku biasa untuk pembuatan disperse pada umumnya. Pectin seperti juga pembentukan gel lainnya, tidak larut pada suatu media yang biasanya terjadi penjedalan. Misalnya sulit larut jika bahan padatan dalam medium yang makin banyak. Untuk memudahkan pelarutan pectin dapat dicampur dengan padatan yang mudah larut seperti, natrium bikarbonat, gula, atau disperse dalam alkohol, atau melarutkan terlebih dahulu pada air pada suhu 60-800 C sampai kepekatan 10% dengan pengadukan cepat. Karena pectin mempunyi sifat yang menyebabkan rasa sentuhan di mulut yang dikehendaki dalam air buah, pectin bermetoksi tinggi dapat ditambahkan pada air buah. Pectin dapat juga ditambahkan pada rekonstitusi ar buah untuk memperoleh konsistensi seperti keadaan aslinya.

C. Pectin
Dalam pembahasan mengenai pectin perlu dikemukakan istilah-istilah umum yang dipakai untuk membatasi pengertian beberapa senyawa yang merupakan penyusunan pectin atau yang berkaitan erat dengan pengertian pectin.
Bahan-bahan pectin adalah suatu bahan hidrokoloid karbohidrat yang terdapat pada jaringan tanaman tingkat tinggi dan umumnya berada bersama sama dengan lignin dan hemiselulosa. Bahan-bahn pectin merupakan polimer asam galakturonat yang berikatan dengan α 1-4. asam piligalakturonat tersebut teresterifikasi sebagai metil ester (COOCH3) yang tingkat esterifikasinya dapat beragam dan sebagian jumlah karboksil dapat berikatan dengan basa.
Pectin adalah istilah untuk bahan-bahan pectin yang teresterifikasi sebagian ataupun ternetralisasi sebagian gugus karboksilnya. Pectin terdapat hamper pada semua tumbuhan tingkat tinggi, terdapat pada dinding sel lapisan-lapisan antarsel. Fungsi utamanya adalah sebagai perekat.
Penggunaan pectin dalam pangan, pectin harus larut seluruhnya untuk menghindari pembentukan gel yang tidak merata. Pelarutan seluruhnya memungkinkan pengempalan tidak terjadi. Jika pectin mengental akan sulit sekali untuk melarutkannya. Pectin dapat dibuat dispersi terlebih dahulu dengan cara baku biasa untuk pembuatan disperse pada umumnya. Pectin seperti juga pembentukan gel lainnya, tidak larut dalam suatu media yang biasanya terjadi penjedalan. Makin sulit larut jika bahan padatan dalam medium makin banyak. Untuk memudahkan pelarutan pectin dapay dicampur dengan padatan yang mudah larut, seperti natrium bikarbonat, gula, atau disperse dalam alcohol, atau melarutkan terlebih dahulu dalam air pada suhu 60-80 derajat selsius sampai kepekatan 10% dengan pengadukan cepat. Karena pectin mempunyai sifat kaloid yang menyebabkan rasa sentuhan di mulut yang dikehendaki dalam air buah. Pectin dapat juga ditambahkan pada rekonstitusi air buah untuk memperoleh konsistensi seperti keadaan aslinya.

D. PATI
Amilosa dan amilopektin adalah molekul-molekul penyusun utama pati. Secara umum, pati terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Perbandingan jumlah penyusunan sangat beragam tergantung jenis tanamannya. Perbandingan ini menentukan secara umum sifat-sifat pati. Jenis pati yang banyak mengandung amilopektin, misalnya pati jagung dan pati tapioca mempunyai kemampuan lebih besar terhadap kekentalan larutan dalam keadaan panas daripada jagung biasa. Pati banyak digunakan sebagai pengental, yang lebih mantap adalah pati termodifikasi. Tingkat modifikasi kimiawi yang digunakan dalam pangan tergantung tekstur dan kekentalan yang dikehendaki pada suatu keadaan khas, yaitu keasaman, kandungan gula, suhu pengolahan dll.
Pati digunakan sebagai pemantap emulsi pada saus selada jenis mayounaise. Mayounise adalah emulsi jenis semipadat, dibuat dari minyak nabati sebanyak65% kuning telur seutuhnya, cuka atau jeruk dengan bumbu rempah dan gula.

E. EKSTRAK RUMPUT LAUT
Agar istilah umum yang lebih berkaitan dengan cirri-ciri gel. Agar terdiri atas fraksi yang mengandung sulfat disebut agarosa dan fraksi yang tidak mengandung sulfat disebut dengan agaripektin. Agarosa dapat membentuk gel, sedangkan agaropektin tidak dapat. Pada pemurnian agar, agaropektin dipisahkan sampai pada suatu tingkat. Agar bersifat anionic, dapt membentuk gel yang jernih, liat yang tidak mantap pada perlakuan pembekuan-pelelehan. Penggunaan agar pada pangan sebagai pembentuk gel dalam industri roti, hasil olahan daging, ikan dll.

F. ALGIN
Asam alginate adalah polisakarida linier yang terdiri atas rangkaian satuan-satuan asam D-manuronat(M) dan asam L-gukoronat yang bersambung dengan ikatan 1-4 glikosidik. Tingkat polimerisasi garam alginate tergantung pada spesies dan musim. Kekentalan asam alginate tergantung suhu, kepekatan berat molekul, dan adanyakation logampolivalen. Kekentalan alginate turun pada pemanasan, dan mungkin pecah pada suhu tinggi dalam waktu yang lama. Kekntalan kembali normal pada pendinginan, jika terjadi pemecahan kimiawi. Kekentalan alginate tidak dipengaruhi pH 4-10. di bawah pH 4, kekntalan cenderung naik karena kelarutannya rendah dalam asam, penurunan pH selanjutnya asam dan penurunan pH selanjutnya asam alginate mengendap.
Penggunaan asam alginate dalam industri pangan adalah sebagai pemantap es krim, es susu, keju dan sebagai pembentuk gel dalam pudding. Sebagai pembentuk suspensi dan pengental dalam minuman dari buah-buahan dan minuman lainnya, sebagai pemantap buih pada bir, sebagai pengemulsi dalam saos dan pembentuk lapisan tipis dalam pelapisan daging, ikan dan olahan pangan lainnya.

F. KERAGENAN
Keragenan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah chondrus sp., gigartina sp., dan eucheuma sp., sampai 86 spesies telah dimanfaatkan. Setiap spesies memiliki susunan polimer keragenan yang beragam, dan hal itu juga tergantung umur rumput laut, musim, dsb. Keragenan terdapat pada tanaman, umumnya dalam bentuk sejumlah polimer yang sangat mirip, atau fraksi-fraksi yang perbandingan jumlahnya tergantung pada asal spesies. Keragenan larut dalam air, tetapi sedikit larut dalam pelarut-pelarut lainnya, umumnya perlu pemanasan agar keragenan larut semuanya. Biasanya pemanasan dilakukan sampai suhu 50-80 derajat celcius, tergantung adanya kation yang dapat mendorong pembentukan gel seperti ion kalium atau factor lainnya. Kemampuan keragenen untuk membentuk gel dengan ion-ion merupakan dasar dalam penggunaannya dibidang pangan. Sifat-sifat keragenan yang unik sebagai hidrokoloid adalah reaktivitasnya dengan beberapa jenis protein, khususnya dengan protein susu yang menyebabkan timbulnya sifat-sifat yang menjadi alas an banyak penggunaannya dalam pangan.

2.4. PENGENTAL
Pengental yaitu bahan tambahan yang digunakan untuk menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampurkan dengan air, sehingga membentuk kekentalan tertentu. Contoh pengental adalah pati, gelatin, dan gum (agar, alginat, karagenan).

BAB III
METODE PENGUMPULAN DATA


3.1 Dokumentasi
Pengertian : mencari data mengenal hal-hal atau variabel yang berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, Internet dan sebagainya. Dalam menyusun makalah ini kami menggunakan buku dan media internet.

BAB IV
PEMBAHASAN


4.1. Penyajian Data
4.1.1. Sifat fisik dan kimiawi dari pengemulsi, pemantap dan pengental.
Beberapa Sifat emulsi cair yang penting ialah: Demulsifikasi, Pengenceran dan Emulsi Padat atau Gel

4.1.2. Mekanisme kerja
Mekanisme kerja emulsi meliputi : Emulgator surfaktan, Emulgator koloid hidrofil dan Emulgator partikel halus.

4.1.3. Cara penggunaan
Penggunaan Emulsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu emulsi untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar.

4.1.4. Batas Penggunaan
Persyaratan sesuai dengan Permenkes RI. No. 722/Menkes/Per/ IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan ( BTP ), untuk pengemulsi, pemantap, pengental.

4.1.5. Aspek Keamanan
Efek pengemulsi, pemantap, dan pengental terhadap kesehatan dapat diketahui pada table 7.

4.2. Analisa Data
4.2.1. Sifat Fisik Dan Kimiawi Dari Pengemulsi, Pemantap Dan Pengental
Seperti yang telah dijelaskan, emulsi merupakan jenis koloid dimana fase terdispersinya merupakan zat cair. Kemudian, berdasarkan medium pendispersinya, emulsi dapat dibagi menjadi:
1. Emulsi Gas (Aerosol Cair)
Emulsi gas merupakan emulsi di dalam medium pendispersi gas. Aerosol cair seperti hairspray dan baygon, dapat membentuk system koloid dengan bantuan bahan pendorong seperti CFC. Selain itu juga mempunyai sifat seperti sol liofob yaitu efek Tyndall, gerak Brown.
2. Emulsi Cair
Emulsi cair merupakan emulsi di dalam medium pendispersi cair. Emulsi cair melibatkan campuran dua zat cair yang tidak dapat saling melarutkan jika dicampurkan yaitu zat cair polar dan zat cair non-polar. Biasanya salah satu zat cair ini adalah air dan zat lainnya seperti minyak. Sifat emulsi cair yang penting ialah:
1. Demulsifikasi
Kestabilan emulsi cair dapat rusak akibat pemanasan, pendinginan, proses sentrifugasi, penambahan elektrolit, dan perusakan zat pengelmusi.
2. Pengenceran
Emulsi dapat diencerkan dengan penambahan sejumlah medium pendispersinya.
3. Emulsi Padat atau Gel
Gel merupakan emulsi didalam medium pendispersi zat padat. Gel dapat dianggap terbentuk akibat penggumpalan sebagian sol cair. Pada penggumpalan ini, partikel-partikel sol akan bergabung membentuk suatu rantai panjang. Rantai ini kemudian akan saling bertaut sehingga terbentuk suatu struktur padatan di mana medium pendispersi cair terperangkap dalam lubung-lubang struktur tersebut. Berdasarkan sifat keelastisitasnya, gel dapat dibagi menjadi:
1. Gel elastis
Gel yang bersifat elastis, yaitu dapat berubah bentuk jika diberi gaya dan kembali ke bentuk awal jika gaya ditiadakan. Contoh adalah sabun dan gelatin.
2. Gel non-elastis
Gel yang bersifat tidak elastis, artinya tidak berubah jika diberi gaya. Contoh adalah gel silika.
Mikroemulsi: dispersi cair-cair dalam bentuk miselar dengan ukuran partikel 10-100 nm. Dalam mikroemulsi terjadi solubilisasi miselar dimana misel-misel bergabung dan membutuhkan konsentrasi surfaktan yang tinggi.

• Faktor yang harus diperhatikan dalam mikroemulsi:
1. Luas permukaan partikel terdispersi: memepengaruhi enersi antar muka.
2. Stabilita fisik dan pembentukan sistem yang spontan.
3. Derajat solubilisasi: misel surfaktan, globul emulsi, dan solubilisasi yang terjadi.
4. Kinetika solubilisasi tergantung dari derajat solubilisasi dan transisi misel surfaktan dan globul emulsi.
5. Pengaruh temperatur dan komposisi mikroemulsi.

Mikroemulsi: partikel lebih kecil, luas permukaan lebih besar tetapi karena adanya konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang tinggi menyebabkan partikel terselimuti secara rapat sehingga lebih stabil daripada emulsi biasa dan tidak memerlukan pengocokkan yang kuat. Co-surfaktan diperlukan untuk menurunkan hidrofilisitas fase air. Contoh co-surfaktan: etoksidiglikol, poligliseril 6-dioleat, poligliseril 6-isostearat, poligliseril 3-diisostearat.

• Sifat mikroemulsi:
1. Ukuran partikel 10-100 nm
2. Stabil
3. Sederhana
4. Ada kekuatan solubilisasi
5. Ada peningkat aktivitas
6. Penampilan: cair dan transparan.

• Contoh formula:
1. Gliserin
2. Trietanolamin
3. Mg-alumunium silikat
4. Metil paraben
5. Air
Pada mikroemulsi, fase minyak memakai yang viskositasnya rendah. Hal ini dikarenakan agar densitasnya tidak naik sehingga mudah dicampur dan tidak kriming. Emulgel: sediaan emulsi yang fase airnya ditingkatkan viskositasnya dengan menambahkan gelling agent. Emulgel mikroemulsi lebih sulit pembuatannya karena konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang tinggi menyebabkan air sulit berpenetrasi. Formulasi emulsi dengan rasio fase air-minyak: untuk menilai potensial termodinamika dalam sistem 2 fasa pada T&P konstan adalah energi bebas Gibbs → berhubungan dengan HLB. perubahan spontan akan terjadi karena adanya reduksi energi bebas (ΔG < 0) Komposisi tergantung dari 1 komponen independen dalam sistem 2 fasa.

4.2.2. Mekanisme Kerja
Mekanisme Stabilisasi Emulsi adalah sebagai berikiut :
1. Emulgator surfaktan: membentuk lapisan film monolayer pada antar muka globul. Macam2 surfaktan: surfaktan kationik, anionik, nonionik (Span dan Tween), dan zwitter ion. Surfaktan harus dipanaskan karena akan meningkatkan asosiasi globul dan menurunkan viskositas fase terdispersi sehingga lebih mudah terbentuk.
2. Emulgator koloid hidrofil: membentuk lapisan film multilayer pada antar muka globul dan dapat meningkatkan viskositas. Contoh koloid hidrofil: gelatin, agar-agar, tragakan, karagenan, gom arab, dan Na-alginat. Koloid hidrofil harus dikembangkan terlebih dahulu. Lapisan film multilayer terbentuk karena adanya air sehingga terbentuk crosslink/struktur 3 dimensi di sekitar globul karena adanya ikatan hidrogen sehingga dapat menjerat air. Selulosa jika digunakan sebagai koloid hidrofil, hati-hati terhadap valensi tinggi karena dapat merusak lapisan multilayer sehingga terbentuk koalescen. Koalescen adalah ukuran lapisannya berkurang karena emulgatornya berkurang.
3. Emulgator partikel halus: membentuk lapisan monolayer pada antar muka globul karena kemampuan partikel halus teradsorpsi pada permukaan. Kekuatan stabilisator pada emulgator partikel halus sangat lemah, tergantung dari keruahan minyak. Tidak terbentuk lapisan multilayer dikarenakan partikel halus teradsorpsi pada permukaan globul. Contoh yang sering digunakan adalah veegum, bentonit, dan PGA. Veegum dan bentonit harus ditambahkan dengan air panas lalu dikocok dengan blender dengan kecepatan tinggi agar partikel dapat dipecah sehingga air bisa berpenetrasi ke dalamnya. PGA dikembangkannya tidak boleh dengan di blender karena nanti polimernya akan terpecah-pecah. Apabila terpecah makan akan tidak dapat membentuk crosslink antar polimer tersebut.

Tegangan permukaan yang tinggi distabilkan oleh emulgator. Hal ini diperlukan agar partikel tidak bergabung. Jika partikel bergabung, maka dosis tidak merata. Pengadukkan dapat mendispersikan fase terdispersi. Hal ini disebabkan karena memberikan energi kinetika yang dapat menyebabkan fase terdisperdi terpecah menjadi globul-globul kecil. Untuk membuat antasid tidak disarankan menggunakan koloid hidrofil sebagai suspending agent, karena kapasitas penetralannya asamnya tidak sempurna. Antasid digunakan untuk menetralkan asam lambung akibat gastritis dengan mengadsorpsi asam lambung. Karena mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi sehingga kapasitas penurunanya menurun.

• Formulasi Dalam Emulsi:
1. Fasa terdispersi
2. Fasa pendispersi
3. Komponen aditif

• Ketiga faktor di atas menentukan:
a. Pembentukan emulsi. Parameter fisikanya adalah: panas, waktu pengadukkan, dan kecepatan pengadukkan. Parameter kimianya: stabilitas kimia (pH) dan penguraian (toksisitas).
b. Pertimbangan formula, tergantung dari konsistensi/viskositas dan rheologi. Pemilihan fasa minyak dilihat faktor-faktor yang mempengaruhinya, misalnya konsistensi, rasa, dan koefisien partisi zat aktif dengan aditif.
c. Penentuan koefisien partisi adalah memakai air-oktanol lalu ditambahkan zat kemudian kocok sekian menit. Lalu tentukan konsentrasi fasa minyak dan fasa air. Koefisien partisi = [pada minyak]/[pada air]

4.2.3. Cara Penggunaan
Penggunaan Emulsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu emulsi untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi peroral atau injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu liniment, lotion, krim dan salep. Emulsi utuk penggunaan oral biasanya mempuyai tipe M/A. Emulgator merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa obat yang tidak enak. Emulsi juga berfaedah untuk menaikkan absorpsi lemak melalui dinding usus. Emulsi parental banyak digunakan pada makanan dan minyak obat untuk hewan dan juga manusia.
Emulsi yang dipakai pada kulit sebagai obat luar bisa dibuat sebagai emulsi M/A atau A/M, tergantung pada berbagai faktor seperti sifat zat terapeutik yang akan dimasukkan ke dalam emulsi, keinginan untuk mendapatkan efek emolient atau pelembut jaringan dari preparat tersebut dan dengan keadaan permukaan kulit. Zat obat yang mengiritasi kulit umumnya kurang mengiritasi jika ada dalam fase luar yang mengalami kontak langsung dengan kulit.

4.2.4. Batas Penggunaan
Persyaratan sesuai dengan Permenkes RI. No. 722/Menkes/Per/ IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan ( BTP ), untuk pengemulsi, pemantap, pengental.

Table 6. Batas Penggunaan Maksimum untuk Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental
No Nama BTP Jenis/ Bahan Pangan Batas Maksimum Penggunaan
1. Agar Es Krim 10 g/kg, tunggal atau campuran dengan pengemulsi, pengental, dan penstabil lain
Yoghurt beraroma dan produk lain yang dipanaskan setelah fermentasi 5 g/kg, tunggal atau campurandengan pengental lain.
Sediaan olahan keju 8 g/kg, tunggal atau campuran dengan pengental lain.
Sardine dan ikan sejenis, sardine kalengan 5 g/k, hanya dalam media pengepak, tunggal atau campuran dengan pengental lain.
Kaldu Secukupnya
2. Ammonium alginat Es krim dan sejenisnya 10 g/kg, tunggal atau campuran dengan pengemulsi, pengental, dan penstabil lain.
3. Asam alginat Sardine dan ikan sejenis sardin 20 g/kg, hanya dalam media pengepak, tunggal atau campuran dengan pengental lain.
Keju 5 g/kg, tunggal atau campuran dengan pengental lain.
4. Asetil dipati gliserol Es krim dan sejenisnya


Sardin dan sejenis sardin kalengan


Sayur kalengan yang mengandung mentega, lemak, dan minyak

Pangan bayi 30 kg, tunggal, atau campuran dengan pati lainnya.
20 kg, hanya dalam media pengepak, tunggal, atau campuran dengan pengental lain.
10 kg, tunggal atau campuran dengan pengental lain.

60 g/kg, tunggal atau campuran dengan pati lain.
5. Asetil dipati adipat Yoghurt beraroma dan produk lain yang dipanaskan setelah fermentasi

kaldu 5 g/kg, tunggal atau campuran dengan pati lainnya

secukupnya
6. Asetil dipati fosfat Lihat asetil dipati adipat
PASI Lihat setil dipati gliserol
2 kg, tunggal, atau campuran dengan senyawa pati lain untuk produk dengan olahan dasar asam amino dan protein terhidrolisa.
7. Dekstrin, pati gosong, putih, dan kuning Es krim dan sejenisnya 15 g/kg, tunggal atau campuran dengan pati lainnya
Yoghurt beraroma dan produk lain yang dipanaskan setelah fermentasi 10 g/kg, tunggal atau campuran dengan pati lain
Keju 5 g/kg, campuran krim, tunggal dengan pemantap lainnya
Kaldu Secukupnya
8. Dikalium fosfat Lihat dikalsium fosfat Lihat dikalsium fosfat
9. Dikalsium fosfat Sediaan keju olahan

Susu evaporasi; susu kental manis; krim 9 g/kg, total fosfat dihitung sebagai P2O5
2 g/kg, tunggal atau campuran dengan pemantap lain ( jumlah total 3 g/kg) dihitung terhadap pecahan anhidrat.
Susu bubuk; krim bubuk 5 g/kg, tunggal atau campuran dengan fosfat lain, dihitung sebagai P2O5
10. Dinatrium Fosfat Sediaan Olahan Keju 9 g/kg, total fosfat, dihitung sebagai P2O5
11. Dinatrium Fosfat Lihat dikalsium fosfat Lihat dikalsium fosfat


4.2.5. Aspek Keamanan
Efek pengemulsi, pemantap, dan pengental terhadap kesehatan dapat diketahui pada table,
Table 7. Efek terhadap Kesehatan dari Pengemulsi, Pemantap, dan Penegental
No Nama BTP Efek terhadap Kesehatan
1. Lesitin Lesitin adalah nutrisi dan bersifat non-toksik
2. Sodium Laktat Dapat menimbulkan keracunan tertentu pada anak-anak karena anak-anak tidak tahan terhadap laktosa, tetapi tidak ditemui sifat racunnya pada orang dewasa.
3. Potassium Laktat Dapat menimbulkan keracunan tertentu pada anak-anak karena anak-anak tidak tahan terhadap laktosa, tetapi tidak ditemui sifat racunnya pada orang dewasa.
4. Kalsium Laktat Tidak satupu diketahui.
5. Asam sitrat Asam sitrat apabila dikonsumsi terlalu banyak menyebabkan erosi pada gigi dan dapat menyebabkan iritasi local.
6. Sodium Sitrat Dapat mengubah sekresi urine sehingga apabila dalam pemberian obat dapat menyebabkan obat kurang efektif bekerja atau bahkan dapat menjadi racun.
7. Ammonium ferri Sitrat Mencegah anemia
8. Kalsium Disodium EDTA Pemakaian EDTA yang berlebihan dalam bahan pangan dapat mengikat logam-logam yang diperlukan oleh tubuh seperti besi, seng, Cu, sehingga tubuh kekurangan logam-logam esesnsial.
9. Asam Alginat Pemakaian yang berlebihan dalam bahan pangan dapat menghambat proses penyerapan nutrisi tertentu seperti mineral dan unsure renik.
10. Sorbitol Tidak terdapat resiko keracunan yang nyata, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan flatulensi sementara atau in-testinal distention, tetapi juga mengurangi kadar kolesterol darah.


BAB V
PENUTUP


5.1. Kesimpulan
1. Sifat Fisik Dan Kimiawi Dari Pengemulsi, Pemantap Dan Pengental
Sifat emulsi cair yang penting ialah: Demulsifikasi yaitu Kestabilan emulsi cair dapat rusak akibat pemanasan, pendinginan, proses sentrifugasi, penambahan elektrolit, dan perusakan zat pengelmusi. Pengenceran yatitu Emulsi dapat diencerkan dengan penambahan sejumlah medium pendispersinya. Emulsi Padat atau Gel, Sifat mikroemulsi: Ukuran partikel 10-100 nm, Stabil, Sederhana, Ada kekuatan solubilisasi, Ada peningkat aktivitas dan Penampilan: cair dan transparan.

2. Mekanisme Kerja
Mekanisme Stabilisasi Emulsi adalah sebagai berikiut : Emulgator surfaktan: membentuk lapisan film monolayer pada antar muka globul. Macam2 surfaktan: surfaktan kationik, anionik, nonionik (Span dan Tween), dan zwitter ion. Surfaktan harus dipanaskan karena akan meningkatkan asosiasi globul dan menurunkan viskositas fase terdispersi sehingga lebih mudah terbentuk. Emulgator koloid hidrofil: membentuk lapisan film multilayer pada antar muka globul dan dapat meningkatkan viskositas. Emulgator partikel halus: membentuk lapisan monolayer pada antar muka globul karena kemampuan partikel halus teradsorpsi pada permukaan. Kekuatan stabilisator pada emulgator partikel halus sangat lemah, tergantung dari keruahan minyak. Tidak terbentuk lapisan multilayer dikarenakan partikel halus teradsorpsi pada permukaan globul.

3. Cara Penggunaan
Penggunaan Emulsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu emulsi untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi peroral atau injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu liniment, lotion, krim dan salep. Emulsi utuk penggunaan oral biasanya mempuyai tipe M/A.


4. Batas Penggunaan
Persyaratan sesuai dengan Permenkes RI. No. 722/Menkes/Per/ IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan ( BTP ), untuk pengemulsi, pemantap, pengental.
5. Aspek Keamanan
Efek pengemulsi, pemantap, dan pengental terhadap kesehatan dapat diketahui pada table, kebanyakan dari danpak tersebut dapat menyebabkan Dapat menimbulkan keracunan tertentu pada anak-anak karena anak-anak tidak tahan terhadap laktosa, tetapi tidak ditemui sifat racunnya pada orang dewasa. Dan kadang kala merupakan zat yang dapat menurunkan kolesterol darah.

5.2. Saran
Dalam penggunaan berbagai pengawet seharusnya sesuai dengan batas aman yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar kita tidak mengalami dampak nuruk bagi kesehatan. Meski dampak tersebut tidak bisa kita rasakan dalam sekali waktu tapi untyk jangka waktu yang lama Karena toksik dalam tubuh akan terkoagulasi.